Apakah Limbah Domestik Khususnya Detergen Dapat Mencemari Lingkungan?
LIMBAH DOMESTIK
Limbah domestik termasuk dalam pencemar terbesar yang
masuk ke air sekitar 85% sehingga proses pemurniannya tidak berjalan seimbang. Apabila
limbah domestik ini dapat menimbulkan pencemaran baik itu air maupun tanah
apabila tidak dikelola dengan baik. Limbah domestik ini dapat menimbulkan kekeruhan
pada air sungai dan saluran pembuangan air. Kekeruhan air ini disebabkan karena
tingginya kandungan PO4 yang berasal dari deterjen. Deterjen merupakan
bahan pembersih yang mempunyai kelebihan dapat bekerja pada air sadah dan dalam
kondisi asam maupun basa. Deterjen ini termasuk surfaktan anion dengan gugus
alkil (C9 – C15) atau garam dari sulfonate atau sulfat
berantai panjang dari natrium yang berasal dari derivate minyak nabati atau
minyak bumi yang berfungsi untuk mengikat daya cuci (Nugti, dkk, 2020).
Detergen ini tersusun dari tiga komponen yaitu
serfaktan sebeesar 20 – 30% sebagai bahan dasar detergen, builders (senyawa
fosfat) sebesar 70 – 80%, dan bahan aditif yang berupa pemutih dan pewangi
sebesar 2 – 8%. Surface Active Agent (surfaktan) digunakan sebagai proses pembasahan
dan pengikatan kotoran sehingga sifat detergen dapat berbeda tergantung jenis
surfaktan yang digunakan (Yuliani, dkk, 2015). Unsur lain dalam detergen yaitu
bahan penguat (builder) yang berfungsi untuk meningkatkan efisisensi surfaktan melalui
pelunakkan air sadah dengan cara mengikat mineral-mineral yang terlarut.
Builder ini juga membantu untuk mempertahankan pH larutan. Adapun builder yang
sering digunakan yaitu senyawa kompleks fosfat, natrium sitrat, natrium
karbonat, natrium silikat, atau zeolit (Sopiah, 2004).
Bahan kimia dalam detergen ini bersifat keras dan
lunak yang dipengaruhi oleh pH, gugus fungsi bahan kimia penyusun deterjen, dan
panjang rantai gugus alkil. Detergen ini memiliki pH yang sangat basa yaitu
sekitar 9,5 – 12, bersifat korosif, dan dapat menyebabkan iritasi pada kulit. Jika
ditinjau dari gugus fungsinya, gugus fungsi sulfonat lebih keras dibandingkan
gugus fungsi karboksilat. Adapun dari panjang rantainya, semain panjang dan cabang
dari surfaktan maka akan semakin keras deterjen tersebut. Jika detergen ini
tidak terdegradasi secara sempurna di perairan dan masuk ke dalam tubuh, maka
akan terakumulasi dalam jaringan tubuh yang bersifat toksik. Hal yang menyebabkan
toksik yaitu adanya reaksi antara sodium lauril sulfat (SLS) dan sodium laureth
sulfat (SLESI dengan golongan ammonium kuartener. Ammonium kuartener ini dapat
membentuk senyawa nitrosamine yang bersifat karsinogenik (Sopiah, 2004).
Dengan adanya kandungan tersebut, detergen memiliki
dampak negatif baik terhadap kondisi fisik dan kimia (Yuliani, dkk, 2015). Hal ini terjadi apabila sisa cucian yang
mengandung detergen dibuang ke saluran air yang terhubung langsung dengan
sungai atau perairan maka akan menjadi salah satu masalah serius bagi
lingkungan khususnya pada ekosistem perairan yang ada. Pembuangan limbah
detergen tanpa diolah terlebih dahulu dapat mentebabkan organisme-organisme
dalam air mati. Hal tersebut dikarenakan adanya busa-busa dalam detergen akan
menutupi permukaan air yang menghambat sirkulasi oksigen dalam air sehingga
dapat menurunkan kadar oksigen yang akan berpengaruh pada pernapasan ikan. Dengan
demikian, semakin tingginya penggunaan oksigen maka semakin rendah pemasukan
oksigen yang terlarut dalam air (Lestari, 2022). Adapun proses penguraian
detergen ini akan menghasilkan sisa benzene yang apabila bereaksi dengan klor
akan membentuk senyawa klorobenzena yang sangat berbahaya (Zahrah & Sabli,
2015).
Daftar Pustaka
Lestari, A.
D. (2022). Pengaruh pencemaran limbah detergen terhadap ekosistem perairan. Jurnal Sains Indonesia, 3(1), 24-36.
Nugti, M.
A., Cahyani, S. M. D., Latifah, L., & Sugiharto, A. (2020, May). Uji
Efektifitas Koagulan Kapur (CaO), Ferri Klorida (FeCl3), Tawas (Al2 (SO4) 3)
Terhadap Penurunan Kadar PO4 dan COD Pada Limbah Cair Domestik (Laundry) Dengan
Metode Koagulasi. In Prosiding University Research Colloquium (pp. 345-348).
Sabli, T.
E., & Zahrah, S. (2015). Reduksi kandungan fosfat dalam air limbah deterjen
menggunakan sistem rawa bambu. Dinamika Pertanian, 30(2), 101-108.
Sopiah, R.
N. (2004). Pengelolaan limbah deterjen sebagai upaya minimalisasi polutan di
badan air dalam rangka pembangunan berkelanjutan. Balai Teknologi Lingkungan-BPP, Teknologi Serpong.
Yuliani, R.
L., Purwanti, E., & Pantiwati, Y. (2015). Pengaruh limbah detergen industri
laundry terhadap mortalitas dan indeks fisiologi ikan nila (Oreochromis
niloticus).
Komentar
Posting Komentar